Isu boikot pajak memanas. Puncaknya ketika Musyawarah Nasional Nahdatul Ulama pertengahan September lalu, melalui Ketua Umum KH Said Aqil Siroj mewacanakannya ke publik dan segera disambar oleh hampir semua media masa kita. Tentu saja hal itu membikin gerah bahkan cemas sejumlah pihak, terutama jajaran petinggi Negara yang bertanggung jawab langsung terhadap urusan pajak.
Semua sudah tau, obyek korupsi tidak lain adalah uang pajak yang diperas dari keringat rakyat, dan atau dari kekayaan alam yang juga adalah milik segenap rakyat. Dan sebagian utang warisan dari penyelenggara Negara terdahulu harus dibayar juga dengan pajak rakyat. maka, apa janggal kalau muncul ultimatum untuk boikot pajak?
Sesungguhnya di forum Munas NU berbagai opsi telah ditelaah secara seksama. Opsi pertama, biarkan saja keadaan berjalan seperti begini adanya, rakyat terus dikejar pajaknya dengan berbagai cara, termasuk dengan ancaman pidana. Apakah mereka membayar dengan keterpaksaan dan umpatan tidaklah penting.
Pajak yang dibayarkan dengan dengan suasana kebatinan seperti ini pada dasarnya tidak ada bedanya dengan pemalakan. Dalam pandangan agama dan moral apapun, kehalalan dan keberkatan uang seperti ini diragukan, bahkan disangkal.
Tak mengherankan apabila di seputar uang pajak muncul praktik-praktik yang secara moral pun bermasalah. Sebutlah kolusi antara petugas pajak dan wajib pajak. Pajak yang seharusnya 100% masuk ke kas Negara akhirnya hanya separuh dari yang seharusnya, sisanya ditilap berdua. Setelah pajak masuk ke kas Negara, dalam proses pembelanjaannya pun terjadi penyelewengan yang tak kalah serius. Ia dikorup sejak dari tahap perencanaan anggaran sampai dengan tahap eksekusinya di lapangan. Merasa tidak sendirian, para koruptor umumnya tetap tampil tenang, tebar senyum ke kanan dan kiri penuh percaya diri.
Jengkel melihat fenomena kemungkaran yang dipandang lumrah inilah maka muncul opsi kedua : boikot pajak !
Pilihan boikot pajak sama sekali bukan barang baru. Sejak zaman baheula pada era feudal raja-raja di berbagai belahan bumi, aksi serupa sering terjadi. Revolusi sosial menyeluruh di barat maupun timur yang melahirkan Negara demokrasi modern menggantikan pola kekuasaan feodal nan korup pun terlahir dari aksi politik yang bertumpu pada gerakan boikot pajak.
Pertanyaannya, seberapa serius para kiai NU mempertimbangkan opsi boikot pajak ini?
boikot pajak adalah cara sangat efektif menekan kekuasaan, terutama jika dilakukan serentak oleh segenap rakyat pembayar pajak. Tidak usah boikot itu dilakukan seluruh Wajib Pajak, cukup 30% saja terutama WP besar maka denyut nadi Negara bisa berhenti. Oleh sebab itu, bisa ditebak bahwa opsi boikot pajak secara massal dan menyeluruh tak pernah menjadi opsi yang secara sadar diambil oleh siapapun.
Maka, yang dituntut oleh kiai-kiai NU kiranya cukup jelas, sesuatu yang masuk akal dan berada dalam kemampuan kita semua, terutama para pejabat Negara, yakni opsi ketiga : kelolalah uang pajak yang dipungut dari keringat rakyat untuk kepentingan segenap rakyat dengan penuh rasa tanggung jawab.
Perubahan ini harus segera, jangan lagi ditunda-tunda. Para pejabat Negara dan segenap pemegang amanat rakyat, mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat paling bawah, harus bergegas menunjukkan komitmen dan aksi nyata. Berprilakulah sebagai pelayan rakyat sekaligus pelayan Tuhan Yang Maha Esa. Semoga Dia membimbing kita semua bangsa Indonesia. Aamiin..